Kamis, 26 Januari 2023

Toni dan Serigala

admin

 

Toni dan Serigala

Siang itu, seorang anak bernama Toni sedang tertidur di kamarnya. Dia terbangun karena mimpi buruk yang sangat menakutkan. Dalam mimpinya, Toni berada di sebuah hutan yang gelap dan dingin. Dia terjebak di sana dan tidak bisa keluar. Tiba-tiba, ia melihat seekor serigala besar yang berdiri di depannya. Serigala itu menatap Toni dengan pandangan yang menakutkan dan mulai mengejar Toni. Toni berlari sekuat tenaga, tapi serigala itu selalu dekat di belakangnya.

Toni terbangun dengan nafas yang terengah-engah dan keringat dingin. Dia merasa sangat ketakutan. Dia berusaha untuk tenang dan berpikir bahwa itu hanya mimpi. Namun, ketika dia pergi ke dapur untuk minum air, dia melihat seekor serigala di luar jendela. Toni terkejut dan berteriak. Serigala itu berlari pergi setelah dia berteriak.

 

Toni merasa sangat tidak nyaman setelah melihat serigala itu. Dia merasa seperti mimpi buruknya menjadi kenyataan. Dia berusaha untuk tidak memikirkannya lagi dan pergi ke sekolah. Namun, dia tidak bisa menghindari pikirannya tentang serigala itu.

 

Setelah sekolah, Toni pergi ke hutan untuk mencari serigala itu. Dia berharap bahwa dia bisa menemukannya dan membuktikan bahwa itu hanyalah mimpi yang menakutkan. Namun, dia tidak menemukan serigala itu. Dia pulang dengan perasaan yang campur aduk.

 

Malam itu, Toni kembali tidur dan bermimpi buruk lagi. Namun, kali ini dia berani menghadapi serigala itu dan mengalahkannya. Dia bangun dengan perasaan yang lega dan merasa seperti dia telah mengatasi ketakutannya.

 

Dari hari itu, Toni tidak pernah lagi bermimpi buruk tentang serigala. Dia belajar bahwa dia tidak perlu takut pada mimpi buruknya dan bahwa dia bisa mengatasi ketakutannya dengan cara yang baik.

 

***

 

Toni mulai merasa tidak takut lagi dan mencoba untuk berbicara dengan serigala itu. Serigala itu tampaknya tidak menyukai Toni dan berusaha untuk menggigitnya. Namun, Toni berhasil meyakinkan serigala itu untuk tidak melakukannya.

 

Mereka berdua mulai berbicara dan Toni menyadari bahwa serigala itu sebenarnya sangat baik dan tidak seburuk yang dia bayangkan. Mereka berdua menjadi teman baik dan sering bermain bersama di hutan. Toni merasa sangat senang karena ia tidak sendirian lagi.

 

Suatu hari, Toni harus pergi ke kota untuk beberapa hari. Serigala itu sangat kecewa karena Toni akan pergi dan mereka tidak akan bisa bermain bersama lagi. Namun, Toni berjanji akan segera kembali dan mereka akan bertemu lagi.

 

Setelah beberapa hari, Toni kembali ke hutan dan menemukan serigala itu menunggunya. Mereka kembali bermain bersama dan persahabatan mereka semakin kuat. Toni merasa sangat beruntung karena ia memiliki teman yang setia dan baik seperti serigala itu. Dan Toni tau bahwa persahabatan itu lebih berharga dari segalanya.***

 

Pulang

admin

 

Pulang

Oleh: MARLIANA KUSWANTI

 

Jalan menuju rumah selalu terasa panjang. Seperti tak pernah ada setitik pun rindu yang tumbuh di benaknya. Mungkin karena rumah tak menjanjikan apa pun untuknya. Rumah asalnya tak seperti rumah teman-temannya yang selalu siap menyambut dan melepasnya dengan kehangatan. Dingin rumah keluarganya senantiasa menikam sampai ke tulang.

Namun yang sedingin itu pun masih mendingan dibandingkan suasana panasnya yang tak tertahankan jika sedang pecah pertengkaran. Saat Apin kecil, pertengkaran ayah dan ibunya telah menjadi makanan sehari-hari. Seharusnya, Apin terbiasa. Akan tetapi, mereka yang dengan gampangnya bilang begitu pasti tak pernah tumbuh di tengah pekaknya telinga oleh makian dan suara-suara pukulan atau gelas dan piring yang beterbangan ke segala arah.

Seandainya bisa, Apin juga ingin menjadi terbiasa sehingga pertengkaran semengerikan itu tak lagi terdengar seperti pertengkaran dua orang dewasa yang tentunya pernah berulang kali bercinta karena kalau tidak begitu tak mungkin ia dan kakak-kakaknya lahir. Sayangnya, pertengkaran kedua orangtua memang tidak pernah sama dengan hal-hal lain yang ada di dunia ini.

Apin ketakutan di setiap nada suara yang meninggi. Ia bisa menghabiskan malam dengan bergelung di kolong ranjang, merapat pada dinding. Seakan-akan bila dinding mampu memeluknya, ia bakal merasa sedikit lebih baik. Setiap pori di dinding itu barangkali akan menyerap rasa takutnya sampai habis dan besok pagi ia dapat keluar dari sana dengan wajah gembira selayaknya anak-anak.

Sayangnya, itu tidak pernah terjadi. Panasnya suasana rumah di malam pertengkaran selalu berlanjut dengan kebekuan pada keesokannya. Apin membuka pintu kamarnya dengan sangat hati-hati. Jantungnya berdenyut kencang sampai terasa menyakitkan, khawatir sedikit saja suara yang ditimbulkannya akan kembali meledakkan pertengkaran kedua orang tuanya.

Namun, selepas usaha sekeras itu, tak ada apa-apa di ruang tengah yang menyambutnya. Apin bukan tidak tahu ke mana orang-orang. Ayahnya pasti telah pergi pagi sekali atau bahkan di tengah malam ketika Apin akhirnya menyerah pada tangan-tangan lelah yang membekapnya di kolong ranjang. Ibunya mungkin masih di kamar, tidak menangis tetapi juga tidak akan mau bicara baik pada Apin atau siapa pun. Persis seperti petapa.

Ketiga kakak Apin jelas lebih besar darinya. Kakak yang paling dekat saja umurnya terpaut empat tahun dari Apin. Kakak sulung sepuluh tahun lebih tua dan kakak tengah enam tahun selisihnya dari Apin. Di pagi yang sebeku ini, Apin tidak perlu mencari mereka. Tak akan ketemu bahkan bila Apin mampu memutar kepalanya sampai tampak olehnya tengkuk, punggung, dan pantatnya. Barangkali mereka bersembunyi di sana, kan?

Ketiganya dengan curang telah menyelinap ke luar begitu air dalam kuali hampir mendidih. Si sulung sudah punya pacar, gadis desa sebelah. Setelah berjalan-jalan bersamanya sampai mau tak mau memulangkannya atau dia bakal disembur orang tua si gadis, abangnya itu pasti tidur di sembarang tempat. Bisa di gubuk tengah sawah, musala, pos ronda, bahkan mungkin tengah jalan asal tak ada kendaraan lewat.

Kakak kedua perempuan. Dia punya sekelompok teman kental yang bakal siap memberinya tumpangan tidur secara bergantian. Jumlah temannya enam orang dan di sekolah mereka semua ditakuti. Jadi setiap pertengkaran meledak di rumah, kakak kedua Apin baru akan pulang tepat seminggu kemudian. Tanpa raut bersalah, malah siap pergi lagi jika dari depan pintu saja telah terdengar lagi teriakan-teriakan dan hantaman-hantaman pada dinding atau meja. Tak perlu pamit, toh tak akan ada yang mencarinya juga.

Kakak ketiga sebenarnya kasihan. Seperti Apin, dia pemalu dan lebih senang sendirian. Akan tetapi ketika rumah tak mampu menjadi tempat persembunyian yang nyaman untuknya, dengan terpaksa dia jadi harus berkelana tak tentu arah di dunia yang kurang ramah pada orang-orang sepertinya. Dia nyaris tak punya teman. Segelintir anak sebaya yang disebutnya teman pun seperti tidak menganggapnya benar-benar ada.

Oleh karena itu, keberaniannya untuk ikut menyelinap ke luar di malam-malam penuh pertengkaran adalah tindakan yang sangat berani. Dari semua kakaknya, hanya dialah yang Apin tak tahu pasti ke mana ia pergi dan menghabiskan malam. Biasanya, dia pulang lebih cepat dari yang lain.

Sama seperti ketika dia pergi, Apin juga tak tahu kapan dia kembali. Tahu-tahu saja Apin akan melihatnya ada di dapur atau halaman belakang, mengorek-ngorek tanah dengan patahan ranting untuk membangunkan cacing-cacing. Apakah kakaknya sedang mencari lubang persembunyian yang tepat untuk dirinya sendiri?

Tidak ada yang sempat atau ingin mengajak Apin menyelinap. Mungkin karena Apin dianggap terlalu kecil. Jika Apin ikut kakak sulungnya, sudah pasti kakak sulungnya jadi tak leluasa pacaran. Bila dia mengekor kakak perempuannya, sekelompok anak perempuan kadang bisa sangat kejam pada satu-satunya bocah lelaki di antara mereka. Apin tak mau menjadi bubur basi seminggu kemudian.

Sedang untuk berkata pada kakaknya yang jago membangunkan cacing, “Besok-besok ajak aku pergi bersamamu,” Apin tak yakin dia ingin pergi bersamanya. Bukan apa-apa, tapi dua orang berkarakter serupa tak akan cocok bersama-sama dalam waktu lama. Seumpama kakaknya pergi ke utara, Apin akan pergi ke selatan. Demikian pula sebaliknya. Sudah seharusnya seperti itu.

Sekarang Apin bukan lagi bocah laki-laki. Dia sudah menjadi pemuda dua puluh tiga tahun yang terus berusaha membuat lengan, dada, dan perutnya berotot. Kedua orang tuanya yang selalu saling lempar serapah juga telah tiada. Ayah Apin menjadi yang pertama pergi. Ayahnya cukup kaya tetapi entah mengapa ia diteriaki maling pada suatu hari. Mungkin karena ia meniru ulah ketiga anaknya yang suka menyelinap meninggalkan rumah.

Masalahnya, ayahnya menyelinap meninggalkan rumahnya sendiri untuk ganti menyelinap ke rumah seorang gadis. Usianya tak sampai satu setengah kali dari umur anak sulungnya sendiri dan barangkali ini bukan kali pertama terjadi. Apin melihat ayahnya pulang tidak dengan berjalan kaki atau mengendarai sepeda motornya, melainkan diangkat kedua tangan dan kakinya seperti seekor babi buruan.

Wajahnya bengkak-bengkak dan ayahnya seperti muntah sirup merah yang iklannya selalu menyemarakkan televisi menjelang Ramadan. Napasnya tersengal-sengal. Kedua matanya sebesar bohlam putus filamen. Ayahnya tidak pernah membuka mata lagi sejak saat itu. Dia bertahan tak lebih dari setengah hari setelah dibaringkan di teras. Ayahnya tetap di sana sampai ibunya yang mengurung diri di kamar dan menolak bicara pada siapa pun terpaksa keluar.

Tentu setelah Apin mengetuk-ngetuk pintu kamar yang tak kunjung terbuka itu dan berkata, ”Bu, sepertinya Ayah sudah mati.”

Pintu kamar itu terbuka tiga jam kemudian, diiringi perintah ibunya, ”Sana ke warung, beli sabun dan bilang ayahmu harus segera dikuburkan atau baunya akan memenuhi hidung orang sekampung.”

Apin menerima uang yang diulurkan ibunya dan segera berlari sampai ia lupa mengenakan sandal. Tentu saja, sampai di warung ia hanya membeli sabun batang dan berkata, ”Sepertinya ayahku mati. Kami harus segera menguburkannya.”

Meski ingin, Apin tak sampai hati menambahkan, ” …. khawatir keburu bau bangkai.”

Tiga tahun lalu, ibunya akhirnya juga meninggal. Jelas belum terlalu tua, tetapi sepertinya ibunya juga sudah bosan hidup. Banyak orang mengira ia akan segera menikah lagi setelah ayah Apin meninggal dunia. Namun ternyata itu tak pernah terjadi.

Ibunya menghabiskan setiap waktu yang dimilikinya bersama Apin dan anak-anaknya yang lain dengan berkata, ”Ayah kalian bukan lelaki yang baik.”

Lagu lama itu terus diputar sampai hari ketika Apin pulang dan ibunya tak lagi dapat menyanyikannya. Bibirnya sudah miring ke kiri, suaranya nyaris tak bisa keluar, dan ketiga kakak Apin bergantian mengurusnya. Seminggu kemudian, ibunya berpulang.

Terhitung semenjak Apin datang sampai tenda duka di halaman dibongkar, ketiga kakaknya gonta-ganti berkata, ”Kenapa kau baru pulang sekarang?”

Oh, kalau saja ia memiliki alasan untuk pulang.

Tiga tahun telah berlalu. Seharusnya sekarang rumah itu tak lagi sedingin maupun sepanas dulu ketika pertengkaran antara kedua orang tuanya meledak. Akan tetapi nyatanya sama saja. Sekarang malah ketiga kakaknya berikut pasangan masing-masing yang berdebat panjang. Enam orang totalnya. Sungguh ngeri. Dari pagar saja, telinga Apin telah berdenging.

”Aku yang memandikannya dua kali dalam sehari!”

”Aku memasak pagi, siang, dan malam untuknya!”

”Cuma aku yang mau mengantarnya ke rumah sakit!”

”Aku mengorek sisa kotoran di duburnya sebelum dikuburkan!”

”Jangan lupa, aku yang menanggung semua ongkos pemakamannya!”

”Aku paling tua di antara kalian, jadi aku tahu yang terbaik!”

”Di mana-mana jatah warisan anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan!”

”Setan duit kau! Dari rahim siapa kau lahir kalau bukan rahim perempuan?”Apin urung membuka pagar dan memilih berjongkok di bawah pohon palem. Pujaan hatinya berjanji akan memberikan jawaban sekembalinya ia ke rantau. Semula rencananya tiga atau empat hari lagi, setelah ia dan ketiga kakaknya menandatangani dokumen-dokumen penjualan warisan. Namun jika besok pagi ada jadwal bus, kenapa tidak?

Apin yakin akan jawabannya sebab gadis itu tersipu saat mengatakannya. Satu-satunya yang terasa hangat malam itu hanyalah hatinya.

Sumber : https://komp.as/Cerpen_13102022

Selasa, 24 Januari 2023

Selawat Kematian

admin

 

Selawat Kematian

Oleh : SAM EDY YUSWANTO

 

Burhan memelankan laju motornya saat truk yang membawa tumpukan kandang ayam di depannya mendadak mengurangi laju kecepatan. Tak sampai satu menit, truk yang menguarkan bau tahi ayam cukup menyengat itu benar-benar berhenti. Secara otomatis Burhan pun menghentikan motor. Sebab bila tidak, ia akan celaka karena menabrak bodi truk bagian belakang tersebut.

Sambil menutup hidung, Burhan membuka kaca helm warna hitam yang di bagian belakang bawah ada logo SNI-nya. Ia memiringkan kepala ke kiri. Menyelidik apa yang sedang terjadi di depan sana. Mulanya ia mengira ada kemacetan atau kecelakaan saat melihat banyak kerumunan orang. Ternyata ia keliru. Rupanya sedang ada upacara kematian di sana. Bahkan ia melihat keranda telah diangkat dengan posisi menuju ke arah jalan yang berlawanan dengan jalan yang akan dilewatinya. Itu artinya, deretan kendaraan yang berhenti mendadak barusan, termasuk motor matik yang dinaiki Burhan, harus bersabar sejenak sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang meninggal dunia, sekaligus penghormatan kepada para pengiring jenazah menuju pemakaman.

Saat keranda jenazah itu diangkat dan orang-orang menggotongnya dengan langkah agak terburu, Burhan sempat melihat, para pengendara motor dan mobil melempar-lemparkan kepingan uang logam hingga menimbulkan bunyi gemerincing. Refleks, seperti ada seseorang yang menggerakkan tangan, Burhan merogoh saku celana katunnya. Berharap menemukan keping logam di sana. Keringat membasahi kening saat ia tak menemukan sekeping pun logam di saku celananya.

“Astagfirullah ’adzim,” Burhan lekas berucap istigfar saat mendadak teringat sesuatu. Ya, ia ingat bahwa selama ini ia tak pernah ikut-ikutan mengamalkan apa yang dilakukan orang-orang yang melemparkan kepingan logam ke arah jenazah yang secara tak sengaja ditemui di jalan dengan tujuan agar dijauhkan dari malapetaka. Selawat kematian, begitu orang-orang di kampung kelahiran Burhan menamai keping uang logam yang dilemparkan ke arah rumah atau keranda orang yang meninggal dunia.

Tengkuk Burhan tiba-tiba meremang saat keranda jenazah yang digotong enam orang lelaki muda dan paruh baya itu lewat di sampingnya. Lagi, ia bergumam istigfar dan lekas mengucap kalimat istirja yang merupakan petikan ayat Al Qur’an yang berbunyi inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun. Dalam hati Burhan bergumam bahwa sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan kelak kita pun akan kembali pada-Nya.

Dulu saat masih remaja, Burhan pernah menanyakan perihal selawat kematian kepada Bapak. Mulanya ia mengira selawat itu adalah pujian selawat kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Ternyata bukan.

“Selawat kematian itu sama dengan sedekah kematian, Le,” terang Bapak saat Burhan menanyakan hal tersebut. Sejak kecil, Bapak memang terbiasa memanggil “L” atau “Tole”. Dalam adat Jawa, “Tole” memang telah menjadi panggilan kasih sayang orangtua terhadap anak lanangnya. Sementara “Nduk” atau “Genduk” menjadi panggilan yang juga bermakna kasih sayang orangtua pada anak perempuannya. Sayang beribu sayang, Bapak hanya dikaruniai anak semata wayang. Sehingga ia tak pernah bisa merasai bagaimana rasanya memanggail “Nduk” pada putrinya.

“Sedekah kematian?” kening Burhan berkerut. Ia masih belum puas mendengar jawaban singkat Bapak. Bapak menghela napas panjang dan mengembuskannya pelan sebelum akhirnya menjelaskan semuanya.

“Jadi gini, Le. Selawat kematian itu adalah istilah dalam adat Jawa, artinya memberikan sedekah uang sekadarnya saat kita berpapasan dengan orang mati. Fungsinya untuk tolak bala, agar terhindar dari malapetaka.”

Burhan manggut-manggut mendengar penjelasan bapaknya yang masih menimbulkan banyak pertanyaan di batok kepalanya yang ditumbuhi rambut hitam agak keriting itu.

“Memang siapa yang mengajarkannya, Pak?” Burhan kembali bertanya. Lalu Bapak menjawab bahwa selawat kematian sudah diajarkan dan amalkan oleh para leluhur alias nenek moyangnya. Secara turun-temurun. Bapak, dengan suara berbisik, juga menceritakan siapa saja orang-orang di kampungnya yang pernah tertimpa petaka akibat tak mau mematuhi ajaran selawat kematian tersebut.

Mulyadi, pria berkepala botak separuh, tetangga sekaligus juragan kayu yang terkenal kaya raya di kampung tersebut, kata Bapak, meninggal dunia karena tak memercayai dan enggan mengamalkan selawat kematian. Waktu itu, Bapak melihat dengan mata kepala sendiri saat Mulyadi dengan nada sinis mengatakan tentang ketidaksetujuannya bersedekah terhadap jenazah yang secara tak disengaja dijumpai di tengah jalan.

“Bisa syirik kita kalau sampai meyakini selawat kematian sebagai wasilah penolak bala,” Bapak menirukan ucapan Mulyadi yang waktu itu menolak melemparkan kepingan uang logam ke arah rumah orang yang meninggal dunia.

Jadi ceritanya waktu itu Bapak diajak Mulyadi mengantar potongan lakar (batang pohon kelapa yang sudah dipotong-potong dan dihaluskan dengan gergaji) menuju rumah si pemesan dengan menggunakan mobil bak miliknya.

Mobil bak yang disopiri langsung oleh Mulyadi tersebut mendadak berhenti di tengah jalan menikung, sekitar seratus meter sebelum tiba di rumah si pemesan kayu. Antrean kendaraan, mulai motor, mobil, truk, becak, tampak begitu mengular. Raut para pengendara pun tampak ikut prihatin dan begitu sabar menunggu keranda jenazah dipanggul dan diantarkan ke pekuburan. Bapak juga melihat, saat puluhan pengendara itu melempar-lemparkan kepingan logam ke arah keranda jenazah tersebut. Pun dengan Bapak yang secara spontan merogoh saku bajunya dan langsung bersyukur saat menemukan tiga keping logam di sana. Melalui kaca mobil yang terbuka separuh, tangan Bapak terjulur dan bersilekas melemparkan kepingan logam tersebut saat keranda jenazah lewat di sampingnya. Sementara Mulyadi tetap berkeras hati tak mau mengeluarkan sekeping pun logam untuk disedekahkan pada si mayit.

Sepulang dari mengantar kayu, perut Mulyadi terasa melilit dan beberapa kali masuk dan keluar kamar mandi. Mulyadi mencret. Kepada istrinya ia bilang baru makan banyak sambal di warung makan bersama Bapak. Ia pun meminta istrinya pergi ke warung terdekat untuk membeli obat pereda mencret. Saat malam tiba, rasa melilit di perut Mulyadi tak jua hilang meski mencretnya sudah sembuh. Singkat cerita, ia segera dilarikan ke puskesmas terdekat. Petugas puskesmas lantas merujuk Mulyadi agar dirawat di rumah sakit umum yang ada di pusat kota. Namun Mulyadi meninggal dunia saat dalam perjalanan menuju rumah sakit yang jarak tempuhnya nyaris satu jam itu. Kematian Mulyadi itulah yang membuat Bapak langsung memercayai akibat tak mau mengamalkan ajaran selawat kematian.

Selain Mulyadi, masih ada beberapa orang di kampungnya yang konon, kata Bapak, meninggal dunia akibat tak mengamalkan selawat kematian. Ah, sejatinya, dari dulu hingga saat ini, Burhan tak pernah mau memercayai ajaran yang mengharuskan bersedekah uang logam saat di tengah jalan berpapasan dengan orang yang meninggal dunia. Terlebih cara sedekahnya itu tak etis, dilempar ke arah rumah atau keranda jenazah. Burhan lebih memercayai keterangan Mbah Haji Jupri, imam shalat lima waktu di masjid kampung kelahirannya.

Beberapa tahun silam, Burhan memang sempat bertanya perihal selawat kematian itu kepada Mbah Haji Jupri saat suatu hari shalat berjemaah di masjid. Kata Haji Burhan, selawat kematian tak ada sejarahnya dalam agama Islam. Memang, Islam mengajari agar bersedekah sesering mungkin. Terlebih pada orang-orang yang sedang kesusahan atau butuh uluran pertolongan. Tapi cara bersedekahnya harus dengan cara-cara yang baik. Jangan sampai menyakiti hati si penerima sedekah.

Burhan tiba di rumah dan langsung disambut Lastri, istrinya, di depan pintu. Bahkan ketika ia baru turun dari motor dengan helm masih terpasang di kepala, Lastri, dengan wajah cemas dan berleler keringat, tergesa mendekatinya.

“Mas, tadi Bapak jatuh di kamar mandi,” ucap Lastri dengan nada gugup dan kecemasan yang kian menjadi.

“Aku sudah bantu memapah Bapak ke kamar, sepertinya kaki Bapak susah digerakkan,” lanjut Lastri membuat jantung Burhan seolah berhenti. Tanpa banyak bicara dan sambil melepas helm, Burhan bergegas masuk ke dalam rumah, menuju kamar Bapak dan mendapati Bapak yang tahun ini genap berusia 65 tengah terbaring di atas ranjang dengan tubuh lemas. Burhan langsung berinisiatif membawa Bapak ke rumah sakit. Namun Bapak menolak.

”Bapak enggak mau ke rumah sakit, Le. Hidup dan mati Bapak tetap akan di rumah,” ucapan Bapak membuat Burhan merasa dirajam bimbang. Sejak dulu, Bapak memang anti dirawat di rumah sakit. Bukan satu dua kali ini saja ia mengatakan kalimat itu. Sudah sejak tiga tahun terakhir ini, tepatnya sejak Ibu meninggal dunia dan kondisi fisik Bapak kian melemah, ia kerap mengucap kalimat itu. Hidup dan mati di rumah. Bahkan, berkali-kali Bapak bilang bahwa jatah hidupnya di dunia ini tinggal sebentar lagi. Berkali-kali pula Burhan berusaha menghibur dan memotivasi beliau agar semangat menjalani sisa hidup ini. Bahkan Burhan juga bilang, bisa saja ia dan Lastri yang meninggal duluan, sementara Bapak masih diberi umur panjang. Tapi, bukannya Bapak terhibur dengan kalimat yang diucapkan Burhan, ia justru (dengan raut tak semangat) mengatakan, ”Enggak, Le. Bapak yang akan menghadap Gusti Allah duluan.”

Akhirnya, karena Bapak menolak dibawa ke rumah sakit, Burhan terpaksa mendatangi rumah Mbah Mijan yang berada di ujung kampung, tukang urut langganan Bapak yang kerap dipanggil ke rumah, untuk memijat Bapak. Selama ini, Bapak memang gemar dipijat. Bukan hanya ketika sedang masuk angin atau merasa sedang kurang enak badan saja, nyaris tiap bulan Mbah Mijan selalu datang ke rumah untuk memijat Bapak. Sebagaimana dugaan Burhan, Bapak langsung mengangguk setuju saat ia bilang akan memanggil Mbah Mijan untuk mengurut kaki Bapak yang kaku dan susah digerakkan.

 

***

Sudah tiga kali kaki Bapak diurut oleh Mbah Mijan, tapi kakinya masih sulit digerakkan. Burhan tentu merasa cemas melihat kondisi Bapak.

”Aku takut Bapak kena stroke, Mas,” ucapan Lastri membuat Burhan kian mengkhawatirkan kondisi orangtua satu-satunya yang kian sepuh tersebut. Andai Bapak mau dibawa ke rumah sakit agar mendapat perawatan intensif. Ah, tapi rasanya mustahil.

”Apa enggak coba dirayu lagi Mas, siapa tahu Bapak mau dirawat di rumah sakit.”

Burhan berusaha merenungi kata-kata yang diucapkan Lastri, perempuan yang dinikahinya dua puluh tahun silam dan hingga kini belum bisa menghadiahinya buah hati untuknya. Lastri benar. Tak ada salahnya mencoba merayu Bapak. Siapa tahu Bapak berubah pikiran dan mau diajak berobat ke rumah sakit.

 

***

Sebagaimana yang sudah-sudah, Bapak tetap menolak diajak berobat ke rumah sakit. Kalimat ”Hidup dan mati tetap di rumah” pun kembali terucap. Tak hanya itu, bahkan Bapak mulai mengungkit-ungkit tentang selawat kematian.

”Le, jangan-jangan selama ini kamu enggak pernah mengamalkan selawat kematian?” Bapak menatap tajam dengan raut penuh selidik.

Ya, memang benar. Selama ini Burhan tak pernah mengamalkan ajaran yang tak diyakininya itu. Tentu saja ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menampakkan ketidaksetujuan terhadap keyakinan Bapak yang telah mendarah daging tersebut. Selama ini, Burhan selalu berpura-pura mengamini keyakinan Bapak.

Karena ia malas berdebat dan ujung-ujungnya dimusuhi Bapak. Diam-diam Burhan lebih mengamini keterangan Mbah Haji Jupri, bahwa mati dan hidupnya seseorang hanya Allah yang menentukan. Jadi tak ada sangkut pautnya dengan selawat kematian.

”Jawab, Le. Jadi benar selama ini kamu enggak mengamalkan selawat kematian?” Bapak kembali mencecar. Kali ini dengan nada tinggi. Sementara ingatan Burhan kembali melayang pada kejadian tempo hari, saat tangannya tetap bergeming sementara para pengendara lain saling berlomba melemparkan kepingan uang logam ke arah keranda jenazah yang ditemuinya di tengah jalan.

Sumber : https://komp.as/Cerpen_08102022

Senin, 23 Januari 2023

Melukis Ulang Kampung Item

admin

Melukis Ulang Kampung Item

 

Oleh : Gesit Ariyanto


“Kamu enggak cocok jadi warga kampung sini. Kalah lagi hehhh!” gertakan Wanto diarahkan kepada lelaki di hadapannya. Kancil, si kurus yang disasar itu, beda telak dengan Wanto, kakaknya yang bertubuh gempal, berkulit gelap, rahang menonjol. Keduanya saudara sekandung yang tak kenal ibunya sejak balita, sedangkan bapaknya lebih sering menghilang daripada tinggal di rumah bilik pengap di Kampung Item.

Sore itu, Kancil lunglai di dingklik kayu rapuh sisa bongkaran. Wajahnya yang tirus melebam, tubuhnya bersandar miring hampir rebah, tarikan napasnya naik turun tak beraturan. Ia baru saja adu pukul dengan sejumlah pemuda kampung lain, berebut secuil lahan parkir di pasar sayur. Wanto benar, adiknya dan dua temannya kalah lagi. Beruntung mereka masih lolos dari sabetan badik.

Lagi? Iya, lagi. Entah ini perkelahian keberapa dalam hidup Kancil yang memasuki usia 18 tahun. Yang ia ingat, lebih sering kalahnya daripada sukses memukul, apalagi merobohkan lawan. Bahkan, ia tak ingat lagi kapan kemenangan terakhirnya berkelahi. Itulah kenapa Wanto menjulukinya pecundang. Ya, selalu kalah.

“Mending jadi badut saja sana,” Wanto mengejek. Kancil membisu. Bau alkohol menyeruak bersama kepulan pekat asap rokok yang diembuskan Wanto, bersekongkol dengan bau tak sedap aroma sungai gelap keruh di sisi kampung. Wanto tidak menyukai kekalahan karena menunjukkan kelemahan. Tetapi, itu urusan adiknya, bukan dirinya.

Kancil menerima saja julukan pecundang atau apapun itu, yang telah menjadi label di antara mereka. Toh ia memang hampir selalu kalah adu jotos. Namun, ia punya pembelaan karena perawakannya kecil dan pendek, yang juga menjadi ikhwal kenapa ia dipanggil Kancil, sedangkan Wanto yang tiga tahun lebih tua menjelma menjadi pentolan kampung. Satu kesamaan mereka dengan warga kampung lain, punya nyali besar menghadapi kerasnya hidup, jika nyali yang dimaksud adalah hidup mengalir begitu saja tanpa perencanaan.

Kampung Item nama julukan kawasan yang entah sejak kapan disematkan. Mungkin karena aliran sungai berair hitam yang membelah kantong permukiman di tengah kota itu. Atau, mungkin satire pada gelapnya masa depan warga kampung itu. Di sana, rumah-rumah berimpitan di antara gang-gang selebar sepeda motor berhiaskan tali jemuran tak beraturan berikut aneka cucian bergelantungan. Anak-anak tumbuh besar dengan realitas sosial bahwa keindahan itu surealis, tidak nyata. Hidup ini wajib diperjuangkan dengan segala cara meskipun hasilnya akan begitu-begitu saja, sebagaimana orangtua dan warga dewasa di sana melakukannya. Tak ada tempat bagi kelemahan, apalagi berharap belas kasih.

Tak satu pun keluarga di kampung itu orang kantoran bergaji besar plus bonus melimpah, apalagi wiraswastawan kelas menengah. Tak pula ada generasi muda tamatan perguruan tinggi. Dua gambaran sukses di sana hanyalah Yudi “Buntut” si juragan togel dan Tono “Calo” yang makelar apa saja. Selain mereka, Kampung Item adalah rumah bagi pengangguran, kuli pasar, tukang becak, dan pekerja serabutan seperti buruh gendong, tukang gali, hingga pesuruh apa saja. Para perempuan banyak tinggal di rumah saja, menjadi buruh cuci, atau pramusaji di kelab malam kecil dengan upah di bawah standar.

Itu pula yang membuat warga kampung yakin bahwa keberanian dan pekerjaan fisiklah yang akan menopang hidup, bukan pekerjaan bermodal harta apalagi pendidikan tinggi. Jauh dari bayangan dunia Kampung Item. Ora obah, ora mamah alias hanya dengan berjuang maka kamu bisa makan.

Anak-anak pun secara tidak sadar atau sadar merekam semua itu. Semboyannya, berani berbuat berani menanggung segala risiko yang ditimbulkan. Lalu, selesaikan sendiri masalahmu karena orangtua kalian bukanlah siapa-siapa dalam struktur kekuasaan di kota. Dan, berkelahi hanyalah salah satu nilai hidup awal yang mereka kenal sejak dini. Itulah perwujudan nyata dari berani hidup. Kalah menang urusan mburi, urusan belakangan.

Itu pula yang membentuk Wanto dan Kancil, juga siapa saja yang tumbuh besar di sana. Sakitnya fisik karena berkelahi atau tawuran bukanlah persoalan. Terluka adalah sisi mata uang kerasnya hidup yang mereka hadapi hari ini, esok, lusa, atau hari kemudian. Berkelahi juga menjadi jalan menyelesaikan masalah.

Sejak kanak-kanak, mereka sudah dijadikan “jangkrik aduan” para pemuda kampung. Yang menangis diolok-olok hingga berani bangkit lagi, memukul lagi, sampai dianggap cukup para “penonton” yang mengelilingi. Setelah itu, mereka menguji keberanian hidup berikutnya, berkeliaran di jalanan, pasar, makam lokalisasi liar, atau mencoba segala sesuatu yang baru dan memabukkan dalam arti sesungguhnya.

Maka dari itulah Kancil dan hampir seluruh generasi muda di sana akrab, bahkan bersahabat atau kebal dengan rasa sakit. Slogan mereka “raraireg” alias “lara ora marai wareg”, sakit tidak akan bikin kenyang. Kalau mau kenyang, jangan takut sakit. Menangis, apalagi. Tabu!

Selain berkelahi, trik lain yang membentuk cara bertahan hidup adalah berbohong. Kebohongan bukanlah musuh dari sebuah kejujuran, karena kejujuran tak akan mengubah nasib. Nasib diperjuangkan, lagi-lagi dengan segala cara. Sejak kecil mereka ditempa meniti jalan menjadi berani, dimulai dengan mengutil penganan di pasar, kios-kios kecil, mencuri sandal atau kotak amal di mushala.

Kancil sesungguhnya menolak atau sadar bahwa ia tak sepenuhnya serupa dengan gambaran generasi Kampung Item. Ia sadar betul itu. Berkelahi lebih sering kalah, menenggak sedikit alkohol atau secuil pil koplo sudah teler, mencuri tak punya nyali, berbohong jelas bukan keahliannya. Pernah suatu malam, dalam ritual ujian kedewasaan di makam Cina yang dijadikan lokalisasi liar, Kancil yang masih kelas 1 SMP malah terjerembab di lubang makam karena teler berat, lalu ditolong waria yang seharusnya memberinya layanan perdana.

Bukannya iba, teman-temannya yang menjadi mentor hidup di jalanan malahan terbahak-bahak. Kejadian itu menjadi legenda konyol si Kancil yang selalu menjadi lelucon berkelanjutan di antara mereka. Di dalam hati, Kancil mensyukuri kejadian malam itu, karena ia pun sesungguhnya merasa ada yang keliru. Bukan karena rasa berdosa, jijik, aib, atau hal-hal lain seperti dijejalkan para pengkhotbah. Lebih karena ia merasa tak nyaman terlalu cepat dipaksa menjadi dewasa.

Kancil memiliki ketertarikan berbeda, bahkan tergolong tak lazim di kampung keras itu. Sejak kecil ia suka menggambar dan berimajinasi. Sebenarnya, ia terhitung pintar secara akademis di kelas, tetapi tidak ditopang lingkungan hingga akhirnya memilih mengakrabi dunia seni yang lebih luwes. Di sekolahnya, ia beberapa kali mewakili lomba menggambar antarsekolah yayasan dan tak jarang menang. Ia juga menekuni teater dan pantomim, sesuatu yang kerap menjadi olok-olok di Kampung Item. Itu pula yang membuat Wanto menyebutnya badut.

Semua pencapaian dalam lomba-lomba seni jelas bukanlah bentuk sebuah prestasi bagi warga Kampung Item. Apalagi dibangga-banggakan. Hidup ini keras, tak bisa ditaklukkan dengan laku-laku lain selain kekuatan fisik dan keberanian, jika perlu nekat.

Tak peduli itu semua. Kancil abaikan konsesi kekerasan dan olok-olok itu. Kali ini ia bertekad melanjutkan melatih anak-anak usia sekolah di Kampung Item bermain peran, dalam sebuah drama sederhana setelah membaca pengumuman di Pusat Balai Budaya tentang lomba pentas seni budaya antarkampung yang akan digelar di Balai Kota dalam rangka peringatan ulang tahun kota. Tak lama lagi.

Namun, sekalipun yakin melangkah, ia merasa perlu mengadu, mengumpulkan energi. Jika sudah begitu, ia tahu kemana harus menuju. Hanya ratusan langkah dari mulut gang Kampung Item.

“Tidak usah jadi pikiranmu,” kata Wasih, perempuan setengah baya itu.

“Tapi aku, kan bukan badut, bulik”. Kancil terdengar seperti merengek.

“Wanto masmu itu, kan, hanya asal ngomong.” Wasih menyodorkan segelas cairan hitam beraroma kuat yang biasa ditemui di kios-kios jamu, sahabat akar rumput kota.

Perempuan yang dipanggil bulik itu sudah seperti ibu bagi Kancil. Sehari-hari ia menjaga warung gerobak hingga dini hari. Wasih pula yang sejak kecil merawat, menjaga Wanto dan Kancil. Tak jarang ia menginap di bilik pengap itu, juga ketika ayah keduanya sedang berada di bilik bersekat itu.

“Kamu mirip ibumu,” ujar si bulik.

“Ibu, yaa...” Kalimat itu terpotong. Pikiran Kancil menerawang jauh.

Ia tak punya kenangan sama sekali tentang ibu. Bahkan, definisi seorang ibu pun ia belum paham benar. Ia bingung ketika teman-temannya di sekolah dasar dulu berceloteh riang tentang sosok ibu yang memandikan, menidurkan, menyiapkan sarapan, mengantar sekolah, bekerja, atau mengambil rapor. Kancil hanya tahu sosok itu ada pada bulik Wasih, itupun tak sepenuhnya utuh.

Dari Wasih pula ia tahu jika ibu kandungnya pergi meninggalkan rumah sejak ia bayi. Perempuan itu seorang penari ledhek tradisional yang mencari nafkah bersama kelompoknya dari kampung ke kampung. Turut berjuang menafkahi keluarga kecilnya, pada akhirnya perempuan tangguh itu tak tahan lagi menghadapi perangai suaminya, pekerja serabutan temperamental dan terlalu mencintai judi dan alkohol. Hampir tiada hari tanpa adu mulut jika keduanya sedang satu atap.

Hingga suatu pagi buta, sembari menenteng tas kain kecil, ia mengetuk pintu rumah Wasih. Tubuhnya kuyu, matanya sembab, entah menahan sakit, pedih, atau sedih. Atau, lebih dari itu. “Nitip bocahku, ya, sih,” katanya sesenggukkan. Wanto kecil masih terlelap di rumah. Lalu, ia menghilang meninggalkan sekaleng susu, hampir 18 tahun lalu. Tak ada kabar berita. Entah kini di mana.

“Cil, malah ngelamun ki piye, tho?”

“Ohh…nggak kok bulik.” Kancil tersadar. Minuman hitam tadi tandas dalam sekali teguk. Sensasi hangat menjalar dari kerongkongan, dada, hingga seluruh tubuhnya di malam gerimis itu.

“Kampung ini butuh orang seperti kamu, Cil. Bocah-bocah yang latihan drama itu kelihatan senang bukan main. Bulik belum pernah melihat rasa bungah seperti itu di sini. Kalau perlu beli perlengkapan buat lomba, omong saja. Piro?”

“Mboten, lek. Cukup”.

Kancil sungguh merasa beruntung memiliki bulik Wasih. Perempuan itu pula satu-satunya yang menangisinya ketika sebulan lebih menghilang bersama gerombolan kecil sebayanya untuk sebuah petualangan. Mereka jadi penumpang gelap kereta, “nggerenjeng” menyinggahi sejumlah kota di Jawa Tengah, hidup dari mengamen dan mengutil, lalu tidur di mana saja. Kembali ke kampung, remaja-remaja itu menemui kenyataan bahwa tak satupun keluarga mereka merindukan. Hanya si bulik yang menginterogasi Kancil dan memintanya bersumpah tidak akan melakukannya lagi. Dan, seperti sebuah mantra: kasih sayang tulus tak pernah sia-sia.

Sejak itu, Kancil tahu apa arti dirindukan dan dicintai, meskipun ia tidak bisa memahami sepenuhnya pengalaman perasaan itu. Seperti mati rasa, meskipun tidak benar-benar mati. Mungkin, ya mungkin, karena itu pulalah yang membuatnya berbeda dengan Wanto dan generasi muda kampung itu.

Perasaan itu juga yang membangkitkan energi melatih anak-anak setulus hati. Ia membiarkan mereka menjadi dirinya sendiri, dengan keceriaan sealami mungkin, hingga saat tampil dalam lomba pentas seni. Keperluan kostum dipinjam dari teater sekolah, pupur basah putih menghiasi wajah-wajah polos itu untuk membentuk berbagai ekspresi.

Kancil bahagia dengan proses dan keceriaan anak-anak yang menghidupkan kampung selama latihan di lahan kosong di tepi sungai berbau. Hasil lomba di Balai Kota bukanlah tujuan akhir, karena ia hanya ingin nama Kampung Item setidaknya pernah disebut dalam sebuah peristiwa di luar hal yang berurusan dengan kriminalitas dan masalah sosial perkotaan. Itu saja.

 

***

Siang di akhir bulan itu, suasana Kampung Item geger lagi. Sejumlah polisi tak berseragam berjaga-jaga di mulut gang. Sebagian keluar masuk rumah-rumah warga mencari barang bukti untuk dua kasus: narkoba dan duel antarpemuda.

Sesungguhnya, penggerebekan kasus narkoba bukan hal baru di sana. Sebelum-sebelumnya, warga yang ditangkap dengan tuduhan bandar narkoba –meskipun sesungguhnya hanya pengedar dan kurir kelas teri- akan kembali muncul di kampung setelah membayar tebusan sejumlah rupiah. Yang tidak sanggup, makan minum gratis di penjara 1-2 tahun.

“Aku dengar lagi ada pejabat aparat baru,” bisik salah satu warga di antara kerumunan kecil.

“Iya, aku disuruh diam dulu.” Yudi “Togel” bertestimoni.

“Tiarap dulu, ya.” Warga lain mengulum senyum.

Begitulah yang terjadi di Kampung Item, penggerebekan kasus narkoba atau perjudian menjadi semacam siklus tak teratur, menyesuaikan adanya rotasi pejabat korps seragam coklat level kota atau provinsi. Lalu, beberapa pekan kemudian, semua kembali pada ritme seperti biasa.

Namun, kali ini ada kasus lain, perkelahian berdarah melibatkan Wanto. Ia menjadi buronan setelah duel berdarah yang menewaskan lawannya. Wanto sendiri menghilang, sehingga sejumlah polisi menggeledah bilik rumahnya. Kancil yang siang itu berada di rumah, turut digiring ke markas kepolisian untuk dimintai keterangan sebagai saksi.

Didampingi Wasih, Kancil bersiap pergi, ketika sejumlah bocah pentas dramanya membawa kabar bahwa mereka kampiun lomba pentas seni budaya antarkampung. Kabar mengejutkan itu datang bersamaan ketika Kancil harus menjadi saksi jalan kekerasan Wanto, wajah Kampung Item. Kancil yang sudah ditunggu petugas, meminta anak-anak itu memastikan lagi kebenaran kabar ke panitia lomba di Pusat Balai Budaya, tak jauh dari Kampung Item, sekitar 30 menit saja berjalan kaki.

“Balai Budaya? Di mana?”

“Sebelah mana pasar? Makam Cina?”

Anak-anak itu saling melempar tanya, bingung. Kancil tak tahu persis harus bersedih atau bahagia dengan kepolosan mereka. Segera ia tersenyum, terbayang lukisan baru Kampung Item yang saat itu masih berupa sketsa.

---

Sumber: https://komp.as/MelukisUlangKampungItem

Senin, 16 Januari 2023

Pemburu Boneka Hantu

admin
cerpen pemburu boneka hantu


Segerombolan anak-anak dari desa kecil berkumpul di tepi kebun semangka. Mereka berkabung dengan hantu yang sering mengganggu mereka dan membuat mereka tidak bisa tidur dengan nyenyak. Mereka memutuskan untuk berburu hantu itu dan menghentikan kegiatan mengganggunya.

 

Mereka berjalan dengan hati-hati di sekitar kebun semangka, mencari tanda-tanda hantu yang sering muncul. Tiba-tiba, salah satu dari mereka menemukan sesuatu yang mencurigakan di belakang pohon semangka. Mereka bergerak dengan cepat dan menemukan sebuah gua kecil di sana.

 

Mereka berani masuk ke dalam gua itu, berharap dapat menemukan hantu yang mengganggu mereka. Di dalam gua, mereka menemukan sebuah ruangan besar yang gelap dan menakutkan. Namun, mereka tidak menemukan apa-apa di sana kecuali sebuah kotak besar yang terbuat dari kayu.

 

Salah satu dari mereka membuka kotak itu dan menemukan sebuah boneka hantu di dalamnya. Mereka terkejut dan merasa kaget, tapi kemudian mereka tertawa karena tahu bahwa hantu yang selama ini mengganggu mereka hanyalah sebuah boneka yang dibuat oleh seseorang yang ingin bersenang-senang.

 

Mereka keluar dari gua itu dengan senyum di wajah mereka dan berjanji tidak akan lagi ditakuti oleh hantu yang sebenarnya tidak ada. Mereka pulang ke desa dengan rasa lega dan bahagia, tahu bahwa mereka telah berhasil mengalahkan hantu yang selama ini menakutkan mereka.

 

Namun ketika yang lain pulang, ada satu anak yang kembali ke gua. Ia adalah Tini yang merasa penasaran dan akhirnya membawa boneka itu pulang ke rumah. Namun, sejak saat itu, kejadian aneh mulai terjadi di desa itu. Anak-anak desa yang pernah bermain dengan boneka itu mengeluh kesakitan di leher mereka. Tini pun mulai merasa tidak enak dan menyadari bahwa boneka itu sebenarnya adalah hantu yang mencari korbannya.

 

Ia segera menceritakan kejadian ini kepada keluarganya dan warga desa lainnya. Mereka semua kaget dan tidak percaya, namun akhirnya mereka menyadari bahwa Tini benar. Mereka segera mencari cara untuk mengusir hantu itu dari desa mereka. Akhirnya, dengan bantuan dukun setempat, hantu itu berhasil diusir dan desa kembali tenang.

 

Tini merasa lega dan senang karena berhasil menyelamatkan desanya dari ancaman hantu. Dia pun belajar untuk lebih berhati-hati dalam menemukan barang-barang yang tidak dikenal di hutan. Desa kembali damai dan anak-anak dapat bermain dengan aman.***

Jumat, 13 Januari 2023

Surat Cinta dari Alien

admin
Surat Cinta dari Alien


Pada suatu malam yang gelap, seorang peneliti di sebuah observatorium di pegunungan menyaksikan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Sebuah kapal luar angkasa yang besar dan canggih muncul di langit dan mendarat di dataran tinggi di dekat observatorium tersebut.

 

Peneliti tersebut dengan cepat berlari keluar untuk melihat kapal luar angkasa tersebut, dan dia terkejut saat melihat seorang alien yang keluar dari kapal. Alien tersebut mengenakan pakaian yang aneh dan memiliki wajah yang tidak dikenal.

 

Alien tersebut menyampaikan pesan penting kepada peneliti itu, bahwa Bumi akan mengalami bencana besar dalam beberapa hari mendatang dan bahwa seluruh umat manusia harus segera berprepare. Peneliti itu tidak percaya dengan apa yang didengarnya, tapi alien itu menunjukkan bukti yang kuat akan bencana yang akan datang.

 

Peneliti itu segera menyampaikan pesan itu kepada pemerintah dan media, namun tidak di dengar oleh pemerintah dan dianggap sebagai hoax oleh media. Namun, beberapa hari kemudian, bencana yang di prediksikan oleh alien itu terjadi dan menyebabkan kerusakan yang luar biasa di seluruh dunia.

 

Peneliti itu menyesal karena tidak di dengar oleh pemerintah dan media, tapi dia berterima kasih kepada alien yang menyelamatkan nyawanya dan banyak orang lain dengan memberi peringatan tentang bencana yang akan datang.

 

Setelah bencana besar yang menghancurkan dunia, hanya sebagian kecil dari umat manusia yang selamat. Mereka yang selamat hidup dalam kesepian, mencari cara untuk bertahan hidup dan menemukan teman baru dalam keadaan yang suram ini.

 

Dalam kesengsaraannya, manusia itu berkirim surat kepada Alien sebagai bentuk syukur telah diberikan kesempatan kedua hidup di muka bumi. Meski harus memulai segalanya dari awal.

 

"Kepada saudara-saudara kami di luar angkasa,

 

Kami ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada kami selama bencana besar yang baru saja kami alami. Kami sangat berterima kasih atas bantuan teknologi dan bantuan medis yang diberikan, yang membantu kami dalam menyelamatkan nyawa dan melindungi komunitas kami.

 

Kami sangat menghormati dan menghargai kerjasama yang telah kami jalin dengan saudara-saudara kami di luar angkasa. Kami berharap dapat terus bekerja sama dalam membangun dunia yang lebih baik untuk semua.

 

Sekali lagi, terima kasih atas dukungan yang tidak ternilai harganya. Salam,”

 

Sekelompok alien akhirnya kembali ke Bumi. Mereka datang dari planet yang sangat mirip dengan Bumi, dan segera menyadari bahwa manusia sudah menempati planet ini. Alien ini tidak ingin mengganggu kehidupan manusia, jadi mereka memutuskan untuk mencari cara untuk hidup selaras dengan mereka.

 

Setelah beberapa bulan menyelidiki dan belajar tentang budaya manusia, alien ini menemukan sebuah kota yang ditinggalkan. Mereka memutuskan untuk tinggal di sana dan mulai membangun kembali kota tersebut. Dengan bantuan teknologi mereka yang canggih, mereka dapat membuat kota tersebut menjadi tempat yang nyaman dan aman untuk ditinggali oleh manusia maupun alien.

 

Ketika manusia mengetahui ada alien yang tinggal di kota tersebut, mereka sangat penasaran dan ingin melihatnya. Beberapa dari mereka datang ke kota tersebut dan sangat terkejut melihat betapa indah dan canggih kota tersebut. Mereka pun mulai berinteraksi dengan alien, dan akhirnya menyadari bahwa alien ini sama sekali tidak berbahaya dan bahkan dapat membantu mereka dalam berbagai hal.

 

Lama-kelamaan, hubungan antara manusia dan alien semakin erat. Mereka bekerja sama dalam berbagai proyek, dan akhirnya menjadi sahabat yang baik. Kehidupan di kota tersebut menjadi lebih baik dan sejahtera dibandingkan sebelumnya, dan bahkan manusia dan alien mulai belajar satu sama lain dan saling menghormati.

 

Ini adalah sebuah cerita tentang bagaimana manusia dan alien dapat hidup selaras dan bekerja sama demi kebaikan bersama.